Selasa, 27 Agustus 2013

Ada saatnya hidup harus berhenti

Sering kali saya mengamati betapa padatnya jalanan Ibu kota, terutama di pagi hari. Salah satunya ketika saya hendak melaju ke daerah Halim, Jakarta timur melewati jalur Sudirman, Jakarta. Kemacetan selau saja terjadi di ruas jalan tersebut. Bahkan kalau saya perhatikan, hampir setiap hari ruas jalan tersebut mengalami kemacetan.

Saya berpikir apakah memang tidak solusi yang cukup efektif selain menambah ruas jalanan yang sekarang mulai dibangun di beberapa titik kemacetan seperti di sepanjang jalan KH Mansyur hingga Jalan Casablanca. Kebijakan baru yang dibuat kepemimpinan Jokowi Ahok dalam membangun Mass Rapid Transit (MRT) yang rencananya sudah dimulai tahun ini, Mungkin juga bisa menjadi solusi seperti yang sudah dibuat di kota negara-negara lain seperti Singapura, London, Paris, dan lain-lain. Namun, pertanyaan yang lagi-lagi muncul adalah apakah itu akan menjawab permasalahan yang ada?  Semoga.

Lepas dari permasalahan itu semua, saya ingin melihat sisi lain dari rutinintas kemacetan dan keseharian masyarakat urban di jalanan. Kemacetan sering mengingatkan saya akan adanya permasalahan yang selalu saja muncul dalam kehidupan. Analoginya seperti ini, jalan lancar dan tidak ada hambatan adalah seperti kehidupan kita di mana semuanya baik-baik saja. Semua berjalan sesuai rencana.

Pernah, saya sangat nyaman dan puas ketika kembali ke Jakarta dengan menempuh waktu hanya dua jam tiga puluh menit.  Tumben, pikir saya. Biasanya bisa sampai empat jam perjalanan bahkan lebih jika sangat macet. Nah ini bagian yang kedua.

Kemacetan saya analogikan seperti permasalahan yang bisa saja selalu datang tanpa terduga. Seorang teman pernah bercerita saya ia dan keluarga hendak pergi ke Puncak, Bogor, Jawa Barat. Perjalannya tiba-tiba terhenti ketika polisi menutup jalur menjadi satu arah. Padahal jarak antara pembatas dan kendaraan yang digunakanya hanya berjarak 5 kendaraan saja. Mau tidak mau dia dan keluarganya harus menunggu berjam-jam hingga jalur itu dibuka kembali.

Kita tidak dapat menduga kapan masalah itu akan datang. Padahal sering kali kita hampir saja terhindar dari masalah. Tapi, malahan kita turut terkena masalah. Mau tidak mau kita hanya bisa berhenti. Proses berhenti ini saya namakan masa-masa refleksi. Di saat berhenti seperti itu lah manusia seharusnya merenung dan berefleksi akan kehidupnya. Analoginya seperti teman saya yang terhenti dan harus menunggu berjam-jam.

Proses pemberhentian itu pun bukan hanya harus kita lakukan ketika ada masalah saja. Seperti kendaraan yang sedang melakukan perjalanan. Kendaraan itu harus berhenti untuk mengisi bensin agar tidak kehabisan bensin di tengah jalan, tanpa perlu menunggu sampai mendorong mobil. Seperti itulah kehidupan manusia. Perlu ada pemberhentian agar kita bisa mengisi bensin semangat hidup kita lagi. Tidak perlu ada masalah untuk berhenti. Kita perlu megaturnya, kapan harus berhenti.

Melihat suatu permasalahan sama juga seperti menghadapi sebuah kemacetan. Sering kali kita mengeluh saat menghadapi macet. Padahal kemacetan tidak terurai saat kita mengeluh. Kita hanya perlu sabar dan perlahan memacu gas sambil terus mencari celah di mana kita bisa mencari alternatif keluar dari kemacetan. Hingga pada titik tertentu kita akan sampai pada akhir kemacetan, dan kembali melaju di jalan kehidupan yang lebih lancar. Selamat idul fitri.

Aktualisasi Diri ?


Perhatian saya belakangan ini tertuju pada aksi-aksi demo yang sering menghiasi layar kaca dan pemberitaan media masa. Mulai dari aksi demo hak buruh, hasil pemilihan pemimpin daerah hingga yang terhangat adalah demo kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Sayangnya, semua niat baik itu tidak jarang berujung pada aksi perusakan.  

Sedikit menyimpang dari permasalah di atas, saya ingin menilik sedikit pada teori Abraham Maslow tentang kebutuhan manusia. Menurutnya, kebutuhan manusia itu seperti piramida. Di tingkat pertama, kebutuhan manusia harus terpenuhi dulu sebelum kebutuhan lain di tingkat atasnya.

Marslow membagi tingkat kebutuhan itu menjadi lima tingkatan. Pertama, kebutuhan fisologis. Dalam tingkatan pertama ini, manusia harus mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan hingga kebutuhan biologis seperti bernafas, dan lain-lain. Dalam bahasa ekonomi dapat disetarakan dengan kebutuhan primer atau pokok.

Setelah kebutuhan tingkat pertama itu terpenuhi baru lah tingkat berikutnya. Marslow menyebutkan tingkat keamanan. Rasanya, hal ini tidak lah perlu saya jelaskan lebih lanjut. Setiap orang tentu membutuhkan rasa aman dalam kehidupannya. Tingkat berikutnya adalah sosial. Hal ini ditunjukan dengan keinginan manusia untuk dicintai, memiliki keluarga, dan membangun jejaring atau bersosialisasi. Di era internet, kebutuhan ini, dipenuhi melalui beragam media sosial.

Setelah kebutuhan sosial, Tingkat selanjutnya adalah kebutuhan untuk dihargai, baik yang diberikan oleh orang lain, maupun penghargaan yang timbul dari kepuasan dari dalam diri sendiri. Ditingkat ini lah, menurut saya, setiap manusia memiliki sensitifitas yang cukup tinggi. Manusia dapat mudah tersinggung, jika tidak dihargai atau diakui. Atau manusia dapat kelewat kepedean jika terlalu banyak dipuji dan lupa diri.

Nah, ini yang terakhir. Aktualisasi diri. Dalam tahapan ini, manusia dihadapkan pada kesempatan untuk menunjukan diri seasli-aslinya. Tidak menutup-nutupi diri. Jujur. Manusia berhak berapreasi dan “menunjukan” siapa dirinya dan apa yang yang ia pikirkan agar menjadi pribadi yang utuh.

Jika kembali pada paragraf pertama, buat saya menarik apa yang diutarakan oleh Maslow dengan fenomena aktualisasi diri para pendemo. Nampaknya, mereka  mencoba menjadikan permasalahan sebagai bentuk pengungkapan kesejatian diri dan pikirannya. Entahlah, tapi bisa jadi benar jika menilik tahapan maslow sebelumnya. Di mana para pendemo rela bergelut dengan kebenaran yang mereka junjung dan membuat seakan kebutuhan primer, rasa aman, sosial,  dan penghargaan telah terpenuhi. Mereka (lagi-lagi seakan) melompat pada kebutuhan aktualisasi diri.

Dari sana, saya mencoba mengelitik pikiran saya dengan membandingkan para pekerja yang juga bergelut dengan rutinitas selagi para pendemo itu mencoba untuk mengaktualisasikan diri. Apa bentuk dari aktualisasi mereka?Bekerja itu sendiri kah yang menjadi bentuk aktualisasinya? Atau lebih pada mengejar kebutuhan primer?

Sering saya mendengar bahwa bekerja perlu dilandasi oleh passion. Tidak sedikit pula kenalan-kenalan saya yang telah menekuni bidang tertentu dan bisa dibilang cukup berhasil menjalankanya, mengatakan bahwa mereka menjalankan pekerjaan itu dengan passion.

Rasanya, saya cukup sepakat dengan hal itu. Mereka  yang memiliki passion, membuat setiap pekerjaan rutin yang dijalani menjadi bentuk aktulisasi diri mereka. Hmm, pantas, para pendemo itu menjadikan demo sebagai hal rutin. Mungkin, itu bentuk aktualisasi diri dan didasarkan dengan passion. :)



Senin, 16 Januari 2012

Ijinkan Aku Berdamai

Tuhan, aku meminta Mu agar aku bisa berhasil
tapi kau beri aku tanpa hasil.
Tuhan, aku meminta Mu agar aku bisa sehat
tapi aku malah merasa sesak.
Tuhan, aku meminta Mu agar aku diberi kekayaan
tapi Kau jadikan aku tak berdaya.
Tuhan, aku meminta Mu agar setiap hari aku mendapat kesenangan
tapi Kau memberi ku ketegangan.

Tuhan, kenapa Engkau begitu?

Setiap yang aku minta selalu tak sama dengan yang Kau berikan.
Setiap yang ku inginkan tak pernah Kau kabulkan.
Setiap yang ku harapkan tak jua menjadi keyataan.
Setiap yang ku buat tak kunjung menghasilkan.

Tuhan, kenapa Engkau diam?

Haruskan aku pun berpangku tangan dan diam.
Haruskan aku tidak berbuat apa-apa hingga kelam.
Haruskan aku meninggalkan setiap mimpi yang dalam.
Haruskan aku membiarkan harapan-harapan ku tenggelam.

Tuhan, aku memang kecewa dengan semua ini.
Namun, hanya Engkaulah yang empunya hidup ini.
Aku tak berhak secara penuh terhadap diri ini.
Nafasku, Engkau yang berikan dalam kehidupan ini.
Nadi ku berdeyut karena Kau yang memberi ijin.

Hidup ku adalah milik mu Tuhan
Suatu saat akan Engkau ambil secara perlahan.
Membiarkan aku terpejam dan melayang.

Tuhan, jika tugas ku kelak di bumi ini telah selesai
ijinkan aku untuk berdamai
berdamai dengan setiap perkara yang tak selesai.
menerima segala yang tak sempat tercapai
dan merelakan semuanya memuai
seakan segalanya telah usai.



note: kubuat saat semua mimpi ku terasa berhenti

Senin, 05 Desember 2011

Makna Sebuah Titipan

Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Nya,
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,
tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,


kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,
Seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika :
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan
Nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih.
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...
"ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"

Karya: 
W S Rendra

Doa Pada Tuhan

Bertahun-tahun yang lalu, saya berdoa kepada Tuhan untuk memberikan saya pasangan, "Engkau tidak memiliki pasangan karena engkau tidak memintanya", Tuhan menjawab.

Tidak hanya saya meminta kepada Tuhan, seraya menjelaskan kriteria pasangan yang saya inginkan. Saya menginginkan pasangan yang baik hati,lembut, mudah mengampuni, hangat, jujur, penuh dengan damai dan sukacita, murah hati, penuh pengertian, pintar, humoris, penuh perhatian. Saya bahkan memberikan kriteria pasangan tersebut secara fisik yang selama ini saya impikan.

Sejalan dengan berlalunya waktu, saya menambahkan daftar kriteria yang saya inginkan dalam pasangan saya. Suatu malam, dalam doa, Tuhan berkata dalam hati saya, "HambaKu, Aku tidak dapat memberikan apa yang engkauinginkan." Saya bertanya, "Mengapa Tuhan?" dan Ia menjawab, "Karena Aku adalahTuhan dan Aku adalah Adil. Aku adalah Kebenaran dan segala yang Akulakukan adalah benar."

Aku bertanya lagi, "Tuhan, aku tidak mengerti mengapa aku tidak dapat memperoleh apa yang aku pinta dari Mu?" Jawab Tuhan, "Aku akan menjelaskan kepadamu. Adalah suatu ketidakadilan dan ketidakbenaran bagiKu untuk memenuhi keinginanmu karena Aku tidak dapat memberikan sesuatu yang bukan seperti engkau. Tidaklah adil bagiKu untuk memberikan seseorang yang penuh dengan cinta dan kasih kepadamu jika terkadang engkau masih kasar; atau memberikan seseorang yang pemurah tetapi engkau masih kejam; atau seseorang yang mudah mengampuni, tetapi engkau sendiri masih suka menyimpan dendam; seseorang yang sensitif, namun engkau sendiri tidak..."

Kemudian Ia berkata kepada saya, "Adalah lebih baik jika Aku memberikankepadamu seseorang yang Aku tahu dapat menumbuhkan segala kualitas yang engkau cari selama ini dari pada membuat engkau membuang waktu mencari seseorang yang sudah mempunyai semua itu. Pasanganmu akan berasal dari tulangmu dan dagingmu, dan engkau akan melihat dirimu sendiri di dalam dirinya dan kalian berdua akan menjadi satu. Pernikahan adalah seperti sekolah, suatu pendidikan jangka panjang. Pernikahan adalah tempat dimana engkau dan pasanganmu akan saling menyesuaikan diri dan tidak hanya bertujuan untuk menyenangkan hati satu sama lain, tetapi untuk menjadikan kalian manusia yang lebih baik, dan membuat suatu kerjasama yang solid.

Aku tidak memberikan pasangan yang sempurna karena engkau tidak sempurna. Aku memberikanmu seseorang yang dapat bertumbuh bersamamu".


sumber :Nn

Jika

Jika kamu memancing ikan..... Setelah ikan itu terikat di mata kail, hendaklah kamu mengambil Ikan itu..... Janganlah sesekali kamu lepaskan ia semula ke dalam air begitu saja.... Karena ia akan sakit oleh karena bisanya ketajaman mata kailmu dan mungkin ia akan menderita selagi ia masih hidup. Begitulah juga setelah kamu memberi banyak pengharapan kepada seseorang... . Setelah ia mulai menyayangimu hendaklah kamu menjaga hatinya..... Janganlah sesekali kamu meninggalkannya begitu saja...... Karena ia akan terluka oleh kenangan bersamamu dan mungkin tidak dapat melupakan segalanya selagi dia mengingat... .. Jika kamu menadah air biarlah berpada, jangan terlalu mengharap pada takungannya dan janganlah menganggap ia begitu teguh......cukuplah sekadar keperluanmu. ...... Apabila sekali ia retak tentu sukar untuk kamu menambalnya semula...... Akhirnya ia dibuang..... .

Sedangkan jika kamu coba memperbaikinya mungkin ia masih dapat dipergunakan lagi.....Begitu juga jika kamu memiliki seseorang, terimalah seadanya.... . Janganlah kamu terlalu mengaguminya dan janganlah kamu menganggapnya begitu istimewa.... .Anggaplah ia manusia biasa. Apabila sekali ia melakukan kesilapan bukan mudah bagi kamu untukmenerimanya. Akhirnya kamu kecewa dan meninggalkannya. Sedangkan jika kamu memaafkannya boleh jadi hubungan kamu akan terus hingga ke akhirnya.... .

Jika kamu telah memiliki sepinggan nasi yang pasti baik untuk dirimu. Mengenyangkan. Berkhasiat. Mengapa kamu berlengah, coba mencari makanan yang lain....
Terlalu ingin mengejar kelezatan. Kelak, nasi itu akan basi dan kamu tidak boleh memakannya. kamu akan menyesal. Begitu juga jika kamu telah bertemu dengan seorang insan yang membawa kebaikan kepada dirimu. Menyayangimu. Mengasihimu. Mengapa kamu berlengah, coba bandingkannya dengan yang lain. Terlalu mengejar kesempurnaan. Kelak, kamu akan kehilangannya; apabila dia menjadi milik orang Lain kamu juga akan menyesal.


Sumber : Nn

Jumat, 14 Mei 2010

Cerita di Lampu Merah

Melintas jalan Gatot subroto siang ini (10/5), membuat aku merasa terenyuh. Sebuah pemandangan yang seakan menjadi satu pandangan mata biasa di tengah Bandung yang semakin padat.Kala itu, aku baru saja mengajar komputer di SD Slamet Riyadi. Kebetulan lampu berwarna merah dan "memaksa" untuk berhenti. Mobil dan motor mulai berjalan pelan dan berhenti. Pedangan asongan mulai menjajakan barang dagangannya yang ia bawa.Dari arah mata memandang, ada seorang anak dengan suara sumbangnya mendendangkan salah satu lagu pop di tanah air. Bermodalkan sebuah alat musik yang dibuat dari kayu dengan beberapa tutup botol minuman yang terpaku, ia mencoba mengais rejeki.Tepat di depannya ada pengendara motor yang juga sedang menanti lampu lalu lintas. Tampaknya suara parau dan paras lelah yang tercermin dari wajahnya tidak mampu menyentuh hati.Dengan lunglay ia melangkahkan kakinya tanpa ada hasil sama sekali. Kelelahan, Kekecewaan dan pengharapan menjadi satu dalam langkah kecilnya.Masih ingat bagaimana cerianya anak-anak saat paskahan di Aloy? Mereka berlari, bermain dan tertawa. Sepertinya, gelak tawa lepas dan keceriaan seperti anak-anak itu jauh dari bayangan pengamen-pengamen kecil.Ketika lampu menjadi hijau. Kendaraan pun melaju, semua itu seakan terbang bersama debu jalanan.