Sering kali saya mengamati betapa padatnya jalanan Ibu kota, terutama di pagi hari. Salah satunya ketika saya hendak melaju ke daerah Halim, Jakarta timur melewati jalur Sudirman, Jakarta. Kemacetan selau saja terjadi di ruas jalan tersebut. Bahkan kalau saya perhatikan, hampir setiap hari ruas jalan tersebut mengalami kemacetan.
Saya berpikir apakah memang tidak solusi yang cukup efektif selain menambah ruas jalanan yang sekarang mulai dibangun di beberapa titik kemacetan seperti di sepanjang jalan KH Mansyur hingga Jalan Casablanca. Kebijakan baru yang dibuat kepemimpinan Jokowi Ahok dalam membangun Mass Rapid Transit (MRT) yang rencananya sudah dimulai tahun ini, Mungkin juga bisa menjadi solusi seperti yang sudah dibuat di kota negara-negara lain seperti Singapura, London, Paris, dan lain-lain. Namun, pertanyaan yang lagi-lagi muncul adalah apakah itu akan menjawab permasalahan yang ada? Semoga.
Lepas dari permasalahan itu semua, saya ingin melihat sisi lain dari rutinintas kemacetan dan keseharian masyarakat urban di jalanan. Kemacetan sering mengingatkan saya akan adanya permasalahan yang selalu saja muncul dalam kehidupan. Analoginya seperti ini, jalan lancar dan tidak ada hambatan adalah seperti kehidupan kita di mana semuanya baik-baik saja. Semua berjalan sesuai rencana.
Pernah, saya sangat nyaman dan puas ketika kembali ke Jakarta dengan menempuh waktu hanya dua jam tiga puluh menit. Tumben, pikir saya. Biasanya bisa sampai empat jam perjalanan bahkan lebih jika sangat macet. Nah ini bagian yang kedua.
Kemacetan saya analogikan seperti permasalahan yang bisa saja selalu datang tanpa terduga. Seorang teman pernah bercerita saya ia dan keluarga hendak pergi ke Puncak, Bogor, Jawa Barat. Perjalannya tiba-tiba terhenti ketika polisi menutup jalur menjadi satu arah. Padahal jarak antara pembatas dan kendaraan yang digunakanya hanya berjarak 5 kendaraan saja. Mau tidak mau dia dan keluarganya harus menunggu berjam-jam hingga jalur itu dibuka kembali.
Kita tidak dapat menduga kapan masalah itu akan datang. Padahal sering kali kita hampir saja terhindar dari masalah. Tapi, malahan kita turut terkena masalah. Mau tidak mau kita hanya bisa berhenti. Proses berhenti ini saya namakan masa-masa refleksi. Di saat berhenti seperti itu lah manusia seharusnya merenung dan berefleksi akan kehidupnya. Analoginya seperti teman saya yang terhenti dan harus menunggu berjam-jam.
Proses pemberhentian itu pun bukan hanya harus kita lakukan ketika ada masalah saja. Seperti kendaraan yang sedang melakukan perjalanan. Kendaraan itu harus berhenti untuk mengisi bensin agar tidak kehabisan bensin di tengah jalan, tanpa perlu menunggu sampai mendorong mobil. Seperti itulah kehidupan manusia. Perlu ada pemberhentian agar kita bisa mengisi bensin semangat hidup kita lagi. Tidak perlu ada masalah untuk berhenti. Kita perlu megaturnya, kapan harus berhenti.
Melihat suatu permasalahan sama juga seperti menghadapi sebuah kemacetan. Sering kali kita mengeluh saat menghadapi macet. Padahal kemacetan tidak terurai saat kita mengeluh. Kita hanya perlu sabar dan perlahan memacu gas sambil terus mencari celah di mana kita bisa mencari alternatif keluar dari kemacetan. Hingga pada titik tertentu kita akan sampai pada akhir kemacetan, dan kembali melaju di jalan kehidupan yang lebih lancar. Selamat idul fitri.